Kata Peter Zumthor, insirasi desainnya datang lewat image dan mood yang berasal dari bangunan yang pernah dia alami sebelumnya. Entah datang dari perjalanan arsitektur atau dari kenangan masa kecilnya. Ahmad Djuhara bilang kalau tujuan perjalanannya selama ini adalah untuk mengumpulkan 'rasa ruang'. Mungkin rasa ruang yang sama dengan yang dimaksud oleh Zumthor.
Sebenarnya pengalaman-pengalaman ruang seperti ini selalu ada di suatu tempat didalam otak kita, dan pada saat dibutuhkan, memori tersebut akan mencul, yang perlu dipelajari atau diupayakan adalah: pertama, bagaimana menambah sebanyak mungkin memori 'rasa ruang' yang kita miliki, dan yang kedua, ketika sudah dimiliki, kita harus belajar untuk menggunakannnya didalam proses desain secara sadar. Maksud dari 'menggunakannya' disini adalah bagaimana menghadapi image-image tersebut, memiliah, mengkombinasikan dan pada akhirnya menangkap mood tersebut dalam desain bangunan.
Ya benar, mood. Selama ini saya berpikir, seorang arsitek harus banyak melihat bangunan bagus untuk menambah perbendaharaan visualnya (visual vocabulary). Namun setelah membaca In Praise of Shadow (Tanizaki,1977) dan Thinking Architecture (Zumthor, 2006), ternyata apa yang ada lebih dari itu! Ada sesuatu yang tidak terlihat, namun sangat lekat dirasakan, yaitu mood dari ruang. Ini yang lebih penting dari perbendaharaan kata. Detail dan elemen visual dalam arsitektur digunakan untuk mencapai kualitas mood tertentu yang diinginkan.
- - -
Bagaimana merekam sebuah mood dengan sebaik mungkin?
Jika perlu sampai kedetail-detailnya.
Sehingga jika diperlukan, memori itu akan muncul dengan baik.
Jika meminjam istilah istri saya, seseorang dapat mengikat makna dari sebuah buku dengan menulis kembali apa yang dia baca. Tentu saja dengan tanpa menulis pun, sesorang mungkin saja bisa mengingat makna dari buku itu dilain waktu, tapi tidak akan sebaik dengan jika dibarengi menulis.
Sama halnya dengan bangunan, kita akan dapat mengikat 'makna' atau 'rasa ruang' dengan lebih baik lewat sketsa! Dengan membuat sketsa, kita dipaksa untuk melakukan dua hal secara sekaligus, pertama: membuat sketsa tidak secepat fotografi, melainkan memaksa kita untuk duduk dan merekam apa yang kita lihat dan rasakan kedalam kertas menggunakan pensil. Hal ini memberi kesempatan pikiran kita untuk memaknai tempat secara lebih baik. Kedua: membuat sketsa adalah sebuah cara alternatif untuk melihat sebuah objek. Dengan membuat sketsa, kita dipaksa untuk melihat detail-detail, relasi bangunan dan ruang dan komposisi yang tidak akan kita tangkap lewat pandangan sekilas. Jadi kesimpulannya, membuat sketsa dapat membantu kita untuk mengikat 'rasa ruang' dengan lebih baik dan akurat.
Bacaan lebih lanjut:
Thinking Architecture, Zumthor, 2006
In Praise of Shadow, Tanizaki, 1977
Freehand Sketching, Laseau, 2004
Sebenarnya pengalaman-pengalaman ruang seperti ini selalu ada di suatu tempat didalam otak kita, dan pada saat dibutuhkan, memori tersebut akan mencul, yang perlu dipelajari atau diupayakan adalah: pertama, bagaimana menambah sebanyak mungkin memori 'rasa ruang' yang kita miliki, dan yang kedua, ketika sudah dimiliki, kita harus belajar untuk menggunakannnya didalam proses desain secara sadar. Maksud dari 'menggunakannya' disini adalah bagaimana menghadapi image-image tersebut, memiliah, mengkombinasikan dan pada akhirnya menangkap mood tersebut dalam desain bangunan.
Ya benar, mood. Selama ini saya berpikir, seorang arsitek harus banyak melihat bangunan bagus untuk menambah perbendaharaan visualnya (visual vocabulary). Namun setelah membaca In Praise of Shadow (Tanizaki,1977) dan Thinking Architecture (Zumthor, 2006), ternyata apa yang ada lebih dari itu! Ada sesuatu yang tidak terlihat, namun sangat lekat dirasakan, yaitu mood dari ruang. Ini yang lebih penting dari perbendaharaan kata. Detail dan elemen visual dalam arsitektur digunakan untuk mencapai kualitas mood tertentu yang diinginkan.
- - -
Bagaimana merekam sebuah mood dengan sebaik mungkin?
Jika perlu sampai kedetail-detailnya.
Sehingga jika diperlukan, memori itu akan muncul dengan baik.
Jika meminjam istilah istri saya, seseorang dapat mengikat makna dari sebuah buku dengan menulis kembali apa yang dia baca. Tentu saja dengan tanpa menulis pun, sesorang mungkin saja bisa mengingat makna dari buku itu dilain waktu, tapi tidak akan sebaik dengan jika dibarengi menulis.
Sama halnya dengan bangunan, kita akan dapat mengikat 'makna' atau 'rasa ruang' dengan lebih baik lewat sketsa! Dengan membuat sketsa, kita dipaksa untuk melakukan dua hal secara sekaligus, pertama: membuat sketsa tidak secepat fotografi, melainkan memaksa kita untuk duduk dan merekam apa yang kita lihat dan rasakan kedalam kertas menggunakan pensil. Hal ini memberi kesempatan pikiran kita untuk memaknai tempat secara lebih baik. Kedua: membuat sketsa adalah sebuah cara alternatif untuk melihat sebuah objek. Dengan membuat sketsa, kita dipaksa untuk melihat detail-detail, relasi bangunan dan ruang dan komposisi yang tidak akan kita tangkap lewat pandangan sekilas. Jadi kesimpulannya, membuat sketsa dapat membantu kita untuk mengikat 'rasa ruang' dengan lebih baik dan akurat.
Bacaan lebih lanjut:
Thinking Architecture, Zumthor, 2006
In Praise of Shadow, Tanizaki, 1977
Freehand Sketching, Laseau, 2004